Sabtu, 11 Mei 2013

Story About Badminton

*Kemenangan Dramatis Indonesia saat Sudirman Cup 1989 di Jakarta

Apa yang membuat seseorang mempunyai mental juara?
Kenapa seseorang ingin melakukan semua
pengorbanan yang berat? Kenapa? Darimana awal
datangnya?
Pembentukannya yang keras membuatnya jadi
punya mental juara, fisik yang prima, dan juga daya
juang yang heroik, bahkan sejak masih di usia sangat
muda. Salahsatu bukti kebesaran Susi Susanti adalah
kegemparan yang terjadi di Piala Sudirman, Mei 1989
di Istora Senayan...

Banyak orang yang mungkin sulit percaya hal itu bisa
terjadi. Dan mungkin ini adalah salahsatu peristiwa
paling menakjubkan sepanjang sejarah sport dunia.
Sudirman Cup adalah piala beregu seperti Thomas dan
Uber Cup, tapi campuran, laki-laki dan perempuan. Di
final Indonesia berhadapan dengan Korea, yang baru
saja berhasil mempermalukan raksasa China. Stadion
Istora Senayan dipenuhi ribuan pendukung fanatik
Indonesia yang mengibarkan-ngi­barkan bendera kecil
Merah Putih.

Awal yang kurang beruntung bagi tim Indonesia.
Malam itu, di dua partai pertama, Indonesia langsung
tertinggal 0-2. Pasangan Eddy Hartono / Gunawan
dalam pertempuran yang sengit dikalahkan ganda
legendaris Korea, Park Joo Bong / Kim Mon Soo 9-15
15-8 13-15. Verawaty Fajrin / Yanti Kusmiati
ditaklukan Hwang Hye Young / Chung Myung Hee
dua set langsung, 12-15 6-15. Satu partai lagi buat
Korea, dan semuanya akan berakhir. Para penonton
Indonesia sudah hampir kehilangan harapan.
Di partai ketiga yang menentukan, turun bertanding
pemain muda cemerlang, Susi Susanti, umurnya baru
18 tahun. Dia akan melawan Lee Young Suk. Masih
begitu muda, tapi nasib Indonesia sudah ada di
pundaknya.
Sayang, set pertama Susi dikalahkan dengan angka
tipis 10-12. Dan di set kedua, para pendukung
Indonesia sudah putus harapan. Susi tertinggal jauh,
dari 0-1, 0-5, 0-7, sampai akhirnya 2-10.
Hanya tinggal 1 angka lagi. Semua penonton sudah
tertunduk lesu, kita sudah kalah. Beberapa penonton
terlihat sudah mulai meninggalkan tempat duduknya.
Tapi sesuatu terjadi.

Susi tidak menyerah, dia tidak mengendurkan
semangatnya sedikitpun. Malah walaupun ini akan jadi
satu angka yang terakhir, justru dia akan bertempur
habis-habisan. Pemain Korea itu tidak akan menang
dengan seenaknya. Walau hanya 1 angka, Susi akan
menunjukkan pada dunia bahwa dia tidak pernah
menyerah begitu saja. Dan pelan-pelan, angka Susi
bertambah. Satu poin, demi satu poin. Penonton
terheran-heran,­ apa yang terjadi?
Tapi angkanya terus saja bertambah, dan penonton
mulai bangkit lagi harapannya dan bertepuk tangan.
Perlahan-lahan muncul rasa bangga di hati mereka
melihat perjuangan Susi Susanti. Mereka tahu, bahwa
walaupun kalah, Susi akan menjadi juara di hati
mereka, pahlawan mereka yang tidak pernah
menyerah, demi Indonesia.
Tapi angka Susi Susanti terus bertambah, malah
makin mendekati angka Lee Young Suk. Pemain
Korea itu mulai terlihat gugup, dan penonton
Indonesia makin terbakar semangatnya. Apakah
mungkin kali ini Susi akan menang?
Dan akhirnya keajaiban pun terjadi! Susi memperkecil
ketinggalan angkanya sampai akhirnya dia
menyamakan kedudukan, 10-10! Dari 2-10, jadi 10-10!
Benar-benar sebuah daya juang yang tiada
bandingannya.
Sekarang sudah tidak ada lagi yang mampu
menghentikannya­. Lee sudah jatuh mentalnya. Dia
mungkin juga tidak habis pikir apa yang terjadi.
Dengan serang-serangan­ yang mematikan Susi
akhirnya menyudahi pertarungan dramatis itu, 12-10.
Dan di set ketiga, daya juang Lee sudah lenyap. Susi
membantai Lee tanpa ampun 11-0, tanpa perlawanan.
Ada cerita mengatakan bahwa pimpinan pelatih Korea
kalap dan frustasi sampai dia kehilangan akal,
menyumpah-nyump­ahi Lee Young Suk bahkan
memukulnya di depan banyak orang.

Setelah pertarungan ini, seluruh tim Korea kolaps. Tim
Indonesia sudah benar-benar diatas angin. Edy
Kurniawan menang telak dari Han Kok-Sung 15-4 dan
15-3. Ganda campuran Eddy Hartono / Verawaty
menghabisi Park Joo Bong / Chung Myung Hee 18-13
dan 15-3. Indonesia berjaya. Kita menang!
Anda bayangkan Korea yang sekarang negerinya
sangat maju, bisa dihancurkan semangatnya oleh para
pemain bulutangkis Indonesia.





**
DETIK-DETIK TAUFIK HDAYAT MENUJU EMAS OLIMPIADE ATHENA 2004

Taufik Hidayat,, Yahh siapa yg tak kenal pebulutangkis yg satu ini, namanya santer di kala ia menjadi juara Olimpiade athena pada tahun 2004 dengan umurnya yg masih belia 23 tahun. Perjalanan Taufik Hidayat menuju Final setelah di putaran pertama berhasil mengalahkan Hidetaka Yamada (japan), mengalahkan Chong Hann Wong (Malaysia) kemudian mengalahkan rival abadinya Peter Gade yg berasal dari Denmark di babak perempat final dengan straight set lalu di semifinal Taufik kembali di hadapkan dengan Boonsak Ponsana dari Thailand tak ada kesulitan yg berarti bagi Taufik mengalahkan pemain yg satu ini, Taufik menang & berhasil melaju ke Final bertemu dengan Shon Seong Mo dari korea yg mana di babak semifinal berhasil mengalahkan Soni Dwi Kuncoro. Pertandingan yg dipimpin wasit Hakan Fosto dari Swedia berlangsung seru.1 demi 1 angka di raih Taufik hingga leading meninggalkan lawannya 9-3. Lalu smash silang dari Taufik tak mampu di kembalikan oleh Shon & point bertambah untuk Taufik 10-3. pertandinan berlangsung seru di saat ke dua pemain beradu bola net bola pengembalian Shon tanggung, tanpa ampun Taufik pun melakukan smaaaassshh tepat di depan net & membuat lawannya tak berdaya yg hanya pasrah melihat shuttlekock jatuh ke bidang permainannya. Pertandingan berlangsung seru dengan wajah yg optimis & bersemangat sesekali Tuafik menyeka keringatnya menggunakan lengsan bajunya, tampak para penonton yg hadir sorak sorai di kala angka Taufik Hidayat pada point 13-7. Diangka 13-7 Taufik meminta pergantian kock pertandingan kembali di mulai lalu bola Shon keluar. Lagi tampak begitu jelas raut wajah yg penuh optimis kemenangan terpancar dari taufik Hidayat dengan berlari kecil kebelakang lapangan denggan membawa kock. Serve pendek dilakukan oleh Taufik & Shon mengembalikan dengan back hand tanggung tanpa ampun Taufik pun melakukan Smaaaaaaaaasshhh masuk & Gammeeeeeeeee 15-7. Taufik pun menggempalkan tangannya ke atas seraya meneteskan air mata bahagia, lalu sang pelatih Mulyo Handoyo menghampiri & memeluk Taufik Hidayat perasaan haru & suka cita membaur menjadi 1 sungguh kemenangan yg sangat istimewa. Lalu Taufik bersalaman dengan Shon Seung Mo seraya melambaikan raket ke arah penonton. Lalu Taufik berlari menghampiri penonton, tampak di baris paling depan Bapak Agum Gumelar memeluknya & sang pelatih pun menyematkan sang pusaka Merah Putih ke pundak Taufik. Taufik menuju podium dengan penuh haru & tetesan airmata di mana kala itu Taufik berada di unggulan 7 mampu keluar menjadi sang juara. Bendera Merah Putih dengan gagah di kerek ke atas seraya di kumandangkannya lagu Indonesia Raya.Betapa bangga nya kita kala itu tampak begitu megah & gagah 2 bendera merah putih di kerek ke atas dimana Soni Dwi Kuncoro berhasil menyumbangkan medali perunggu setelah mengalahkan Boonsak Ponsanna.







***
Hendra Setiawan
Incar Gelar Bergengsi
Incar Gelar Bergengsi 
 
KORAN JAKARTA/BRAM SELO AGUNG
Telah banyak mengecap banyak gelar, puncaknya ketika meraih medali emas Olimpiade Beijing 2008 bersama Markis Kido, Hendra Setiawan belum puas. Dia masih berambisi merebut banyak gelar lagi meski harus bertukar pasangan, dengan rekan barunya, Mohammad Ahsan. Hasilnya tak sia-sia. Hendra berduet dengan Ahsan berhasil mempersembahkan gelar pertama untuk Indonesia di ajang Super Series, yakni di Malaysia Terbuka Super Series 2013.

"Kemenangan ini menambah percaya diri dan saya ingin berbuat lebih banyak. Dengan dipasangkan dengan Ahsan membuat saya semakin yakin," kata Hendra saat ditemui di Pelatnas Cipayung, Jakarta Timur, Selasa (22/1). Pertemuan Hendra dengan Ahsan berawal di kualifikasi Piala Th omas. Dia dipasangkan dengan Ahsan.

Itulah kali Hendra dipasangkan, tapi untuk sesaat karena dia gagal meneruskan perjuangan di Piala Thomas karena sakit. Berduet dengan Ahsan bukan hal mudah. Pria kelahiran Pemalang itu melalui jalan berliku ketika memutuskan kembali ke pelatnas Cipayung, markas para pebulu tangkis nasional.

Dia kembali harus mengikuti berbagai aturan dan porsi latihan ketat yang telah disusun pelatih. Namun semua itu diterimanya dengan lapang dada. Hendra kemudian mulai dipasangkan dengan Ahsan pada Agustus 2012 tepatnya seusai Olimpiade London karena pasangan Ahsan sebelumnya, Bona Septano, dianggap tidak berkembang.

Debut mereka dimulai pada Denmark Super Series, berlanjut ke Hong Kong, dan Prancis Super Series. "Saya senang dengan hasil yang dicapai. Tidak saya jadikan beban. Justru semakin memotivasi saya agar menjadi Juara di All England Maret nanti," kata Hendra yakin. Senioritas yang dimiliki Hendra membuatnya lebih berperan sebagai kakak untuk Ahsan.

"Sebagai yang lebih senior saya mengingatkan Ahsan agar lebih fokus di lapangan. Karena dia masih muda saya merasa beruntung, tenaganya masih penuh, sehingga kami lebih mengandalkan serangan," terang dia. Di luar lapangan Hendra bersama Ahsan kerap kali makan bersama.

"Tapi, itu dilakukan saat turnamen saja karena sehari-hari saya sudah berkeluarga. Di pelatnas juga kami sekamar berdua, jadi bisa sering ngobrol," ungkap dia. Ke depan, suami dari Andiani Arief yang menikah pada 9 Oktober 2011 lalu ini menyadari persaingan di ganda putra kian ketat. "Tapi, nama-namanya masih seputar itu-itu saja, jadi saya optimis bisa menghadapi semua dan mendapat hasil maksimal," jelas dia.

Gagal di Olimpiade
Kembali ke pelatnas menjadi berkah tersendiri untuk Hendra. Maklum, saat memilih independen dia harus bekerja keras. Bersama mantan rekannya, Kido, dan sejumlah pemain lain harus pontang-panting mencari sponsor dan mengatur keperluan turnamen. "Mulai dari pendaftaran, penginapan, hingga menyiapkan makanan harus saya siapkan sendiri. Latihan juga tidak terlalu rutin, minimal dua minggu sekali," kenang Hendra.

Menilik kisah ke belakang, saat Hendra memutuskan mundur dari pelatnas pada awal 2010 semua karena solidaritas. Pengurus Besar Persatuan Bulu Tangkis Seluruh Indonesia (PB PBSI) dianggap tidak mengakomodasi keinginan rekannya. "Waktu itu, Kido sempat didiagnosis mengidap hipertensi (darah tinggi) dan PBSI waktu itu tidak mau menanggung akibat jika Kido terpaksa bermain dengan kondisi seperti itu karena merupakan tanggung jawab pemain. Kemudian saya memutuskan mengikuti Kido karena sulit untuk mencari pasangan baru," kenang Hendra.

Ketika terakhir masih bersama Kido, Hendra berpeluang mengulang sukses di Olimpiade London 2012 ketika peringkatnya terus menanjak dan dilatih Sigit Pamungkas. Sayangnya, karena banyak kendala dari rekannya, Kido, hingga mereka gagal masuk ke peringkat delapan besar dunia.

"Sebenarnya saya kecewa, tapi mau bagaimana lagi kondisinya sudah seperti itu. Akhirnya saya memilih kembali ke pelatnas," terang putra pasangan Ferry Yugianto dan Kartika Christyaningrum tersebut. "Saya sudah pikirkan baik-baik keputusan untuk menerima permintaan baru. Saya ingin mencoba tantangan baru. Apalagi belum ada pebulu tangkis yang Juara Olimpiade dua kali," ujar Hendra ketika memutuskan keluar dari pelatnas. delia mustikasari/S-2

BIODATA
Nama:
Hendra Setiawan
Agama:
Kristen
Tempat, tanggal lahir:
Pemalang, Jawa Tengah,
25 September 1984
Hobi:
Musik
Ayah:
Ferry Yugianto
Ibu:
Kartika Christyaningrum
Istri:
Sandiani Arief

Tidak ada komentar:

Posting Komentar